Hari masih pagi, ketika langkah kaki kami menyusuri batuan sungai menuju ke air terjun Semuncar. Ini merupakan kali kedua kami mengunjungi lokasi yang terletak di kecamatan Ampel, kabupaten Boyolali ini. Yang pertama kami hanya sampai ke air terjun kedua, Tuk Songo. Terhambat tebing setinggi 4 meter tanpa pengaman dan kondisi cuaca yang mulai mendung membuat kami mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan menuju ke titik akhir di air terjun Semuncar.
Foto merupakan panorama 360, silakan diputar ke kiri kanan atas bawah untuk melihat sekeliling. Kalau ada ikon kamera berwarna biru bisa diklik untuk pindah ke lokasi lainnya
Dengan bekal pengalaman di perjalanan pertama, kali ini kami berenam Marsono, Dwi “kebo” Suryanto, Pak Lusi, Agus, Wahono serta saya sendiri. Kami berangkat pagi hari dari Solo, diantar Adit yang tidak bisa ikut acara susur sungai ini tapi bersedia mengantar kami sampai ke lokasi Basecamp Rempala di dukuh Wonolelo, dusun Ngangrong, Ampel, Boyolali.
Setelah berpamitan kepada teman-teman di basecamp Rempala, kami mulai menyusuri jalan setapak di samping makam Syech Maulana Ibrahim Maghribi hingga tiba di sungai.
Dari sana perjalanan terasa menyenangkan. Beberapa kali kaki kami melangkah sengaja menceburkan diri ke aliran sungai yang jernih dan dingin menyegarkan. Walau tidak dalam, di beberapa tempat hanya semata kaki hingga paha orang dewasa. Beberapa kali juga kami berloncatan dari satu batu besar ke batu besar yang lain. Sementara itu lembah yang hijau memanjang sepanjang sisi sungai memanjakan mata dengan pemandangan indah lereng timur gunung Merbabu.
Untuk perjalanan kali ini, sengaja saya hanya membawa kamera poket G15 yang terlindungi dalam casing underwater wp dc48 karena pengalaman dari perjalanan sebelumnya, selepas air terjun Tuk Songo akan banyak bertemu dengan kolam air yang cukup dalam.
Perjalanan hingga tiba ke air terjun pertama, Tempuran tidak terlalu jauh berbeda dengan perjalanan kami bertiga terdahulu. Selepas air terjun Tempuran baru mulai banyak kejadian yang lucu. Sandal yang dipakai Dwi “kebo”, yang saat itu berada di paling belakan, karena paling banyak berhenti untuk mengambil foto, putus satu talinya. Sandal akhirnya dibiarkan di lokasi dan nanti akan diambil kembali dalam perjalanan pulang.
Nah karena sepanjang perjalanan berikutnya mulai masuk ke sungai yang lebih sempit dan beraliran cukup deras membuat kami harus lebih berhati-hati ketika melangkahkan kaki. Kalau yang menggunakan sandal dengan bagian bawah yang masih bagus masih bisa cukup “menggigit” ketika melangkah. Tapi untuk Dwi “kebo” yang bertelanjang kaki, beberapa kali harus terjebak ketika sudah terlanjur melangkah. Kaki kanan terlanjur melangkah ke batu besar di samping, tapi ternyata langkah kaki terlalu lebar. Tak lama kemudian kaki kiri bergerak mencoba menyeimbangkan diri, tapi sepertinya batuan yang diinjak cukup licin dan seperti dalam film-film dengan adegan lambat, tubuh besarnya kemudian oleng dan byurr.. Tapi masih terlihat seringai tawa walah pastinya sih sakit ketika kaki bertemu muka dengan batuan yang sudah puluhan tahun diam di sana. wkwkwkw
Pastinya harus hati-hati melangkah, karena selain licin, fisik kita juga mulai tergerus dengan tenaga yang sudah kita keluarkan sepanjang perjalanan. Belum lagi air dingin yang menjalari kaki sepanjang perjalanan membuat kulit kita terasa kebas dan pergerakan jadi berkurang kelincahannya.
Setiba di Tuk Songo, Marsono segera bersiap untuk memasang tangga dari webbing yang sudah dipersiapkan beberapa hari sebelumnya. Di atas air terjun Tuk Songo sudah dipasang tambatan untuk mengaitkan tali pengaman sehingga mempermudah untuk melintasi tebingnya. Tidak terlalu tinggi, tapi kalau tidak terbiasa melewati rintangan bakalan bikin keder juga. Mana di seberang tebing air deras mengalir seakan bunyi musik berdentum mengiringi detak jantung kami yang akan melewati rintangan.
Sebelum mulai pemanjatan kami beristirahat sebentar. Menambah kalori dengan mengunyah makanan ringan yang kami beli di perjalanan tadi. Ditambah kopi hangat dari termos kecil yang Marsono bawa. Sembari mengobrol ringan tentang kejadian sandal Dwi “kebo” yang putus, beberapa kali kami semua pernah terpeleset, ditimpali ketawa ketika adegan lucu kami ulang kembali.
Marsono kemudian naik ke atas, di susul Agus, anggota termuda di trip kali ini. Setelah itu pak Lusi, anggota tertua, sudah lebih dari 50 tahun, walau sedikit kerepotan, tapi tetap bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Dengan menggunakan tali webbing sebagai pengaman, melangkahkan kaki satu demi satu, menyeimbangkan tubuh dan kemudian menarik tubuh ke atas sedikit demi sedikit. Setelah dirasa pegangan cukup aman, kembali kaki melangkah ke atas, mencari pijakan yang lebih tinggi. Dan di atas sana Marsono segera menyambut dengan mengulurkan tangan, untuk menarik kami ke atas.
Dari atas Tuk Songo ini medan berubah menjadi lebih menyempit. Tebing di kiri dan kanan kami membentuk lorong, menyerupai bentangan dinding alam. Medan juga lebih terjal sehingga arus air menjadi lebih kuat. Berundak seperti tangga tapi dialiri air, sehingga kami mau tidak mau harus berbasah-basah menerjang sungai.
Di beberapa tempat bahkan kami harus melewati kolam yang cukup dalam sehingga harus rela basah celana hingga ke pinggang. Kami berjalan lebih perlahan, mencoba memastikan langkah yang kami ambil aman. Tidak usah terburu-buru karena nikmat dari perjalanan itu bukan di tujuan akhir tapi proses perjalanan hingga sampai ke sana.
Tak berapa lama kemudian kami tiba di air terjun yang ketiga, air terjun Watu Abang. Tidak terlalu besar dan tinggi, mungkin sekitaran 6-8 meter. Air mengalir deras di bagian tengah yang berupa cekungan.
Di bagian bawah terdapat kolam yang cukup dalam. Saya mencoba mengambil foto teman-teman yang sedang asyik bermain air di bawah air terjun dari bagian kiri air terjun dan tidak sengaja masuk ke dalam kolam hampir sepinggang. Untung peralatan elektronik yang di dalam tas sudah saya masukan semua ke dalam dry bag sehingga tetap awam walau tas sempat terendam separo ketika tercebur di kolam tadi.
Nah kalau perjalanan ke Semuncar yang pertama, Marsono hanya sampai di air terjun ketiga ini dan kemudian bingung karena tebing tegak lurus yang nyaris tidak bisa dilewati kalau tanpa alat. Dan setelah ngobrol di basecamp saat perjalanan pulang baru kami tahu ternyata harus balik arah beberapa puluh meter ke belakang, dan di sebelah kanan nanti ada jalan setapak kecil yang akan membawa kita melewati air terjun Watu Abang ini.
Jalan setapak yang kecil, selebar dua kaki, dan langsung menanjak mengikuti kontur lereng di sebelah kanan air terjun. Pijakan tangan buat menjaga keseimbangan juga tidak terlalu banyak, padahal kondisi di sebelah kiri, kalau tidak berhati-hati bakalan langsung membuat kita terperosot beberapa meter turun ke bawah.
Karena alasan keamanan, baik keamanan kamera maupun orangnya, saya terpaksa memasukan kamera ke dalam tas. Supaya kedua tangan bisa lebih leluasa mencari pegangan untuk melewati jalan tipis yang cukup berbahaya ini. Menyesal juga, sepulang dari Semuncar tidak ada foto di jalan setapak ini.
Setiba di atas, berjalan beberapa meter ke depan, kami bertemu dengan kolam air yang cukup dalam. Tak perlu menunggu lama, badan kami yang memang sudah basah kuyup karena sering terkena air di perjalanan ini pun rasanya masih perlu mandi untuk menyegarkan diri. Byuurrrrrr… beberapa dari kami sudah bertelanjang dada dan menceburkan diri ke air. Dingin… brrrrr… rasanya menusuk tulang. Tapi setelah beradaptasi rasa dingin mulai berkurang dan kami berenang tipis tipis di dalam kolam.
Marsono berulang kali meloncatkan tubuhnya dari atas batuan, menceburkan diri ke kolam. Pak Lusi malah asyik merebahkan tubuhnya di pinggir kolam yang agak lebar. Separo tubuhnya teredam air layaknya sedang berendam di kolam. Dan kami semua menikmati kolam air ini ibarat anak kecil yang lama tidak bermain air.
Dari kolam menuju ke Semuncar ternyata sudah tidak terlalu jauh. Selepas beberapa tangga sungai kami menatap dinding alam yang menyerupai tembok melingkar menjadi akhir perjalanan. Lamunan saya langsung melayang ke film Lord of The Rings, tinggal ditambahkan kabut tipis yang melayang di antara air yang mengalir menyusupi liang liang di tebing.
Air terjun Semuncar ini tidak terlalu besar, bahkan hanya menyerupai air yang keluar dari dinding tebing. Tapi karena dinding nya cukup lebar dan air yang keluar di beberapa tempat yang berlainan yang kemudian mengalir ke bawah membentuk kolam kecil.
Ada satu yang cukup panjang mengalir dari tengah-tengah dinding yang mungkin berketinggian lebih dari seratus meter ini. Kami merasa bukan siapa-siapa di tengah alam yang seluas ini.
Setelah itu acara pokok perjalanan ini dimulai, makan siang dengan bekal ayam bakar sponsor dari warung ayam bakar pak Lusi. Memang itu tujuan perjalanan kami kali ini, jalan jalan sehat dan makan siang di air terjun Semuncar.
Ada rasa nikmat ketika makan ayam bakar dengan berlatar belakang pemandangan alam yang seindah ini. Ditambah dengan candaan dan obrolan ringan menemani perjamuan kecil makan siang ini. Kopi yang masih hangat dikeluarkan dari termos kecil dan diputar untuk dinikmati bersama.
Dalam setiap perjalanan kami semakin merasakan bahwa manusia membutuhkan dan dibutuhkan orang lain untuk bisa mencapai tujuannya. Saling membantu sehingga perjalanan menjadi yang susah bisa lebih mudah dilalui.
Setelah mengemasi bekal dan tentunya memasukan sampah ke dalam plastik untuk kami bawa pulang kembali, berpamitan kepada alam yang indah supaya tetap bisa lestari. Dan kami pun melangkahkan kaki meninggalkan keelokan dan kemegahan air terjun Semuncar.
Pingback: Menjalin Langkah Menuju Air Terjun Njalin - Landscape Indonesia