Serial Dari Sudut Nordic Countries Hingga Konfederasi Switzerland – Kota Di Tepi Lautan Baltik – Bagian 1 dari 4

Dari Sudut Nordic Countries Hingga Konfederasi Switzerland – Bagian 1 dari 4
Kota Di Tepi Lautan Baltik

(text dan Foto by: Wawies Wisnu W.)

Langit sedikit berawan menyambutku di halaman Vantaa Airport. Sebentar kuhempaskan tubuh di bangku salah satu sudut airport sambil sekedar meregangkan sendi-sendi kaku. Inilah pertama kali aku merasakan duduk dalam lambung Airbus A340-300 selama 12 jam tanpa henti. Membawaku dan 260 penumpang lainnya sejauh 9.267 km menembus udara dari Changi Airport Singapore hingga salah satu sudut paling utara di Eropa. Sebuah perjalanan menuju negeri asing yang selama ini hanya terbatas angan, sendirian, hanya bermodalkan sedikit informasi dan peta dalam genggaman tangan. Itupun penuh berisi nama jalan dan tempat dalam bahasa Finland yang sampai saat ini masih belum kumengerti bagaimana mengucapkannya dengan benar.

Berbekal tiket kertalippu atau one way ticket seharga 5 Euro, kududuk bersama beberapa penumpang dalam kabin Bus nomor 615 yang mulai merambat pelan, bergerak meninggalkan platform 21 di Vantaa Airport menuju jantung ibukota Finlandia, Helsinki. Kulemparkan pandangan melewati gadis muda berambus keemasan yang sedang asyik dengan earphonenya hingga menembus ke balik frame kaca bus. Deretan pinus berdaun runcing menghijau diantara karpet rerumputan penuh bunga perdu menjadi latar pedestrian yang lengang. Hanya sesekali terlihat satu dua orang melangkahkan kaki menikmati pagi, sambil berbagi lajur dengan para pengguna sepeda di atas jalanan beton itu. Sebagai salah satu dari lima negara di Nordic countries atau negara-negara paling utara, suhu rendah sangat mendominasi dalam satu tahun perputaran musim. Berpuncak pada hadirnya hari-hari yang sangat gelap dan lembab di setiap musim dingin, saat dimana matahari hanya bersinar selama 3-4 jam setiap harinya. Tak heran bila musim panas dirayakan secara khusus oleh penduduk negeri ini dan membuat siapapun ingin menikmati hari-hari hangat di tempat favorit mereka masing-masing.

Perjalanan bus selama 30 menit berakhir di Rautatientori, plaza luas dikelilingi platform terminal bus dan bersebelahan langsung dengan Helsingin Rautatieasema atau Helsinki Central railway station. Bagai berada di pintu gerbang, seketika terpapar denyut kehidupan dalam balutan peradaban yang belum pernah kusaksikan. Dari ceracau obrolan berbahasa Finland, derap kaki para penikmat sinar matahari musim panas, decit suara laju sepeda, gemeletuk ban mobil bergesekan dengan jalanan bebatuan tersusun rapi dan kokoh, hingga kicau camar laut yang sesekali melintas. Semua bercampur aduk di kota tepian perairan Baltik ini. 

Jauh sebelum deklarasi kemerdekaannya di tahun 1917, Finlandia menyimpan kisah sejarah cukup panjang. Sebagai wilayah dengan sebutan The Grand Duchy of Finland, negara ini merupakan wilayah otonomi dan bagian dari Kekaisaran Rusia selama kurang lebih satu abad lamanya. Namun, bila invasi Tsar Alexander I tahun 1809 merupakan milestone mulai masuknya pengaruh budaya negeri para Tsar. Sebelumnya, Finlandia telah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Swedia semenjak ekspedisi para crusader dari kerajaan itu di akhir abad ke 12. Sehingga disamping sisa-sisa kebudayaan kekaisaran Rusia yang pekat terasa di Helsinki, juga menyebabkan bahasa Swedia dan bahasa Finns masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari penduduk Finlandia hingga sekarang.

Mendung tak lagi tersisa ketika kuberanjak meninggalkan Rautatientori. Mengikuti peta, kutelusuri Kaisaniemenkatu menuju University of Helsinki, tempat dimulainya rangkaian event Helsinki Pixelache Camp 2014 yang akan aku ikuti beberapa jam kedepan. Namun, baru beberapa puluh meter melenggang di jalan bagai lorong besar karena terapit deretan bangunan setinggi 8 lantai di kedua sisinya ini, sebuah kedai kopi menyita perhatian dan seketika menghentikan laju langkahku. Bayang menyeruput kopi panas di pagi hari, duduk di beranda kedai sambil menghirup asap tembakau Indonesia ketika berada di Eropa terlalu menarik untuk diabaikan. Namun sayang, sang barista muda nan manis mengatakan bila seluruh beranda ditutup untuk hari ini karena ada perbaikan bangunan di sebelah kedai. Meski sedikit kecewa, akhirnya kupilih meja di ujung kedai.  Kubuka laptop dan mulai mengakses fasilitas free wi-fi, menghubungi beberapa teman di Helsinki dan mengirim kabar ke tanah air.

Seiring hari mulai beranjak siang, Kaisaniemenkatu terasa semakin riuh ketika kutinggalkan Robert’s Coffee. Perjalanan berlanjut sambil sesekali berhenti menapaki pedestrian untuk melihat peta di tangan. Beruntung, perbincangan singkat dengan sang barista muda memberiku bekal yang memudahkan membaca peta di tangan. Setiap nama dalam peta yang diakhiri dengan kata katu adalah nama sebuah jalan, dimana kata katu itu sendiri adalah bahasa Finlandia yang berarti jalan. Persimpangan terakhir membawaku ke Unioninkatu yang terasa jauh lebih lengang, tempat berbagai fasilitas institusi pendidikan terbesar dan tertua di Finland tersebar. Ketika masih asyik berkutat menandai lembaran peta, mata tiba-tiba tertumbuk pada barisan huruf di peta membentuk nama yang tak lagi asing, Helsinki Cathedral dan Senaatintori. Landmark yang selalu diibaratkan sebagai wajah Helsinki. Terdorong rasa penasaran karena keduanya hanya berada di ujung jalan, segera kulangkahkan kaki kembali menapaki pedestrian batu Unioninkatu.

Helsinki Cathedral atau dalam bahasa Finlandia disebut Helsingin Tuomiokirkko, dibangun pada awal abad 19 sebagai persembahan kepada penguasa wilayah otonomi The Grand Duchy of Finland, sang Tsar Nicholas I. Berdiri tegak diatas 2 tingkat platform menjadikan bangunan bergaya neoclassical ini bagaikan berada dipuncak bukit, lengkap dengan puluhan pilar penopang bagai kaki-kaki raksasa yang kuat mencengkeram. Pelan kutapaki setiap anak tangga batu menuju platform pertama dengan mata tetap lekat memandang tubuh kekar putih bersih penuh citra keanggunan aristokrat di era pertengahan itu. Tanpa perlu dipersilahkan, kulepaskan beban di punggung dan menghempaskan diri ke salah satu sudut pagar batu, menikmati suasana yang semakin terasa magis ketika beberapa camar laut melayang mengendarai udara mengitari puncak kubah hijau berlatar langit cerah membiru.

Lonceng berdentang bertalu-talu mengingatkanku segera beranjak. Anak tangga ke platform puncak membawa langkah kaki sampai di pintu Cathedral Shop Tapuli. Setelah sekedar cuci mata memandangi cinderamata dalam kios di lantai dasar bell tower itu, beberapa meter bergeser meninggalkannya, hamparan luas Senaatintori telah menyita perhatian dan seakan memaksaku kembali duduk di salah satu anak tangga. Tak heran bila wilayah ini sering disebut bagian tertua dari kota Helsinki. Sejauh mata memandang, jejak-jejak era kejayaan kekaisaran Rusia di Finlandia kental terpancar dari Gedung pusat University of Helsinki, Gedung senat atau The Government Palace, dan deretan bangunan tua The Tori Quarter yang melingkupi hamparan senate square.
Hamparan Senaatintori perlihatkan geliat tiap orang merayakan setiap detik pertemuan mereka dengan hangatnya sinar matahari melalui caranya masing-masing. Dari sekedar duduk di salah satu anak tangga, menyendiri berkutat membaca buku ditemani secangkir kopi, berkumpul dengan saudara ataupun para sahabat, hingga menghabiskan waktu beromansa bersama pasangan hidupnya. Dapat kubayangkan bila musim dingin tiba. Semua akan berubah terbalik, Senaatintori menjadi hamparan luas penuh salju memutih dan dipenuhi beragam warna baju tebal para pengunjung. Tidak mengherankan bila dalam lembar pertama buku Helsinki Visitor Guide di tangan menuliskan pesona jantung kota Helsinki ini akan jauh berbeda di tiap perubahan musim, “Sit awhile and imagine how the scenery changes through the dramatically different seasons”.

Belum habis membayangkan musim maupun cuaca, mendung yang sempat menghilang tiba-tiba kembali hadir menggantung di langit biru. Berarak pelan tepat dari arah tempat yang sebetulnya menjadi tujuanku berikutnya, pasar Kauppatori Square yang tepat bersebelahan dengan Pelabuhan Helsinki di tepian perairan Baltik. Belum lama selesai mengemas bagpack dan kembali kupanggul di punggung, ternyata rintik hujan tiba lebih cepat dari perkiraanku. Sambil mempercepat langkah menuju beranda Cathedral menghindari gerimis yang makin lebat, kutelan bulat-bulat rasa kesal karena pupusnya kesempatan merasakan hiruk pikuk pasar tradisional di negeri yang jauh dari tanah airku ini.

Jam di tangan perlihatkan waktu hampir pukul 3 sore ketika rintik hujan beranjak reda. Kugeliatkan tubuh yang terasa kaku setelah berdiam diri selama hampir satu jam. Sambil menghela nafas sedikit berat karena udara mulai dibalut hawa dingin, kembali kupanggul packpack. Kuterobos Senaatintori untuk terakhir kalinya, tak kuhiraukan titik-titik air hujan yang sesekali masih menetes. Dari salah satu sudut, kurekam dalam ingatan setiap detail hamparan. Termasuk patung Tsar Alexander II yang berdiri kokoh tepat di tengahnya, salah satu wujud penghormatan bagi sang tokoh yang terkenal sebagai “The Good Csar” bagi warga Finland ketika  era kekaisaran Rusia mulai surut.

Jalan sedikit memutar kupilih untuk kembali ke University of Helsinky, sekedar mencoba lebih jauh menelusuri kota ini meski waktu tak lagi banyak tersisa. Gemerlap lampu etalase mulai menghiasi Aleksanterinkatu, jalan utama di kawasan Kluuvi yang cukup terkenal karena disinilah salah satu pusat perbelanjaan modern di jantung kota Helsinki berada, Kluuvi Shopping Centre atau dalam bahasa Finlandia disebut Kauppakeskus Kluuvi. Namun, sepertinya gerimis menyebabkan jalanan yang tetap kental memancarkan keanggunannya sebagai kota tua ini terasa sedikit lengang.

Tertarik dengan salah satu jalan yang hanya dilalui para pejalan kaki dan pengguna sepeda, kutinggalkan Aleksanterinkatu dan memasuki city walk Kluuvikatu yang panjangnya tak lebih dari 300 meter. Di sini aku bertemu dengan suasana sedikit berbeda. Para penikmat senja terlihat hilir mudik memenuhi jalanan. Beberapa tampak hanya berbalut pakaian hangat berlenggang tenang menikmati suasana tanpa terganggu oleh gerimis. Kelotak suara hak sepatu memukul bebatuan pedestrian, denting gelas beradu dari beranda-beranda kafe, bercampur dengung obrolan yang sesekali terselip tawa lepas dari beberapa sudut meninggalkan gema di sepanjang jalan. Belakangan kuketahui bila aku hanya menyaksikan separuh wajah Kluuvikatu, dan sayangnya, aku juga melewatkan menelusuri separuh sisa jalan yang menghubungkannya dengan Esplanadinpuisto Park. Salah satu taman di jantung kota yang selalu dipadati pengunjung di musim panas.

Kukibaskan titik-titik air dari jaket. Unioninkatu masih tetap lengang seperti tadi pagi. Halaman gedung auditorium pun belum menunjukkan tanda-tanda aktivitas, hanya sesekali terlihat beberapa mahasiswa summer course hilir mudik memasuki gedung. Sambil berteduh di beranda gedung departement of forest science karena rintik hujan kembali lebat mengguyur, kuletakkan bagpack yang terasa semakin berat, kutarik sebatang kretek tanpa filter buatan tanah air dari pembungkusnya dan kusulut untuk mengusir rasa dingin. Setelah itu kuketik pesan singkat menanyakan kabar pada Jo-lene, kurator muda sekaligus sahabat dari ranah Melayu yang menyempatkan diri datang ke Helsinki disela-sela kesibukannya di Berlin dan berencana untuk bertemu sebelum acara pembuka Pixelache Camp dimulai.

Tiba-tiba seorang pemuda berbadan gelap menyapaku penuh semangat dengan tawa bersahabat, “hey hombre!!……” dilanjutkannya dengan beberapa kalimat yang tak kumengerti bahasanya sama sekali. Senyum lebar dan lambaian tangan kuberikan sebagai balasan tanpa perlu berpikir panjang. Mencuatkan berbagai dugaan disela-sela rasa geli, mungkinkah baginya aku terlihat memiliki kemiripan dengan para perantau dari ranah amerika Selatan? Ataukah aku mengingatkannya pada sesuatu yang hanya diketahui olehnya? Namun uniknya, ketika orang lain lebih memilih menyibukkan diri atau hanya bertukar senyum simpul saat bertemu denganku, pria itulah orang pertama dan satu-satunya yang secara antusias menyapaku terlebih dahulu semenjak kedatanganku tadi pagi di kota ini.

“Hi, i’m already at the university library, come here!” teks singkat balasan dari Jo-lene mengakhiri penantianku. Peluk kerinduan setelah sekian lama tak bertemu sang kurator muda ditengah kesunyian perpustakaan universitas helsinki di Fabianinkatu, berlanjut membawaku kembali ke Kluuvikatu ketika gerimis telah sirna meninggalkan pedestrian basah dan lembab. “What?! You arrived at Helsinki, and the first food you want is MacD?” tanya Jo-lene spontan tertawa terkekeh ketika mendengar celetukanku yang kebingungan mencari sekedar pengganjal perut sebelum mengikuti seminar. “I don’t know anything else…” ujarku penuh tawa sambil mengangkat pundak.

Obrolan ringan bergulir mengikuti perputaran waktu diantara hilir mudik para pejalan kaki merayakan senja di Kluuvikatu, mengantar puluhan menit berlalu tanpa kami sadari. Akhirnya, sang waktu membawa kami memasuki auditorium 1 University of Helsinki, mengikuti seminar “The Commons” oleh dua narasumber yang luar biasa. Alain Ambrosi mengawali dengan kisah tentang tema the common telah menggerakkan berbagai aktivitas di berbagai bidang ilmu melalui caranya masing-masing. Sedangkan Markus Schmidt melanjutkan dengan pengantar tentang kegiatan maupun aktivitas dalam membentuk budaya open source di bidang bioteknologi.

Malam mulai larut, kota Helsinki pun beranjak sepi ketika kabin metro berderak melaju kencang meninggalkan stasiun metro Kaisaniemi. Membawaku beserta beberapa partisipan Pixelache Camp 2014 menuju Vartiosaari. Setelah meninggalkan kabin metro di stasiun Herttoniemen, Ravintola Gurkha menjadi persinggahan kami sebelum melanjutkan perjalanan. Namun, berhadapan dengan deretan menu restauran masakan khas negara Nepal yang semua ditulis dalam bahasa Finlandia ini, seketika kebingungan membekapku. Menyadari apa yang terjadi, Erick Berger menyarankan salah satu menu kegemarannya melalui deskripsi sangat detail yang tentu saja kusetujui tanpa pikir panjang. Tak berapa lama, menu rekomendasi sang visual artist yang low profile dan sangat ramah itu telah tersaji dihadapanku. Satu loyang stainless steel dipenuhi nasi bersama sayur berbalut rempah-rempah, semangkuk ikan fillet dimasak kari kental, beberapa lembar roti Nepal di piring dari rotan dan segelas besar beer dingin. Menu sempurna di malam yang dingin menggigit.

Bus bergerak menembus jalanan distrik Herttoniemi yang senyap. Membawa kami yang kekenyangan ke pemukiman distrik Tammisalo untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Disinilah tubuhku mulai merasakan keanehan. Jam di tangan telah menunjukkan waktu lewat tengah malam, namun matahari musim panas baru saja menghilang dibalik horison dan menghadirkan suasana yang tepat seperti kala senja di tanah air. Belum usai mencoba memahami yang sedang terjadi pada tubuhku, kami telah tiba di dermaga penyeberangan menuju Vartiosaari, pulau di sisi timur kota Helsinki. Platform berbentuk deretan kayu terapung menjadi tepian hamparan luas yang menyatukan kelima negara-negara Nordic, seluruh benua eropa, dataran Rusia hingga Benua Asia. Daratan luas yang kupijak hanya dalam hitungan sekitar 18 jam.

Perlahan row boat berderak menembus ketenangan lautan Baltik yang hampir tanpa ombak. Gemeletuk suara kayu dayung beradu dengan pengait baja, desau nafas Laura setiap kali mengayuh dayung, bercampur dengan kecipak air menampar tubuh biduk terbuat dari serat fiber membentuk ritme yang membuai. Menghadirkan alunan sunyi sang malam di negeri empat musim yang mengiringi perjalananku menembus selat selebar kurang dari 200 meter.

referensi:
*1 Pict 01 : The World on Mercator’s Projection Eastern Part. Map of the Eastern Hemisphere (Asia, Africa, Europe, Australia) – 1818 – by John Pinkerton – www.geographicus.com
*2 Pict 03 background map : large detailed tourist map of helsinki city.jpg – www.vidiani.com
*3 Pict 03 foreground map : Finnair City Bus Timetable Digital Booklet – www. http://media.finnair.com
*4 Pict 13: overlay of 1) Map Data @2014 Google Imagery @2014, Cnes/Spot Image, Digital Globe, Landsat – http://wikimapia.org; 2) Map of Helsinki “Getting to Vartiosaari” – Camp Pixelache 2014 on Vartiosaari

Scroll to Top