Sore hari, kami berempat, Ferdi, om Alfons, om Iskar, ngobrol ringan mengenai hobi memotret kami. Mulai dari lensa hingga ke tripod. Dari tempat-tempat indah buat hunting pemandangan alam di Flores hingga kapan mau hunting sunrise bersama.
Sekitar pukul 7 malam kami beringsut keluar untuk melihat langit yang malam ini dipenuhi bintang. Ferdi, yang siang tadi saya kasih lihat foto bima sakti yang saya ambil malam sebelumnya dari balik pagar mempunyai ide untuk mencoba memotret bima sakti juga.Saya masuk ke rumah untuk mengambil tripod dan membiarkan Ferdi mencoba memotret bima sakti yang saat itu terlihat membujur di atas kami.
Setingan awal untuk memotret bima sakti yang digunakan biasanya menggunakan iso tinggi (mulai dari 1600 – 6400 tergantung kamera), bukaan lensa terlebar (F/1.8, f/2.8 atau f/3.5 tergantung lensa), dan speed rendah (10 – 30 detik). Untuk fokus, karena kondisi malam susah untuk mencari fokus kami gunakan secara manual fokus, diputar ke fokus terjauh dan digeser sedikit. Atau bisa difokuskan dengan bantuan kalau ada planet yang bersinar terang atau bulan. Karena kemarin bulan belum muncul akhirnya hanya menggunakan cara mengira-ira dengan menggeser sedikit dari fokus terjauh.
Percobaan pertama masih begitu bagus karena fokus masih kurang tepat, tapi sudah terlihat lintasan bima sakti tertangkap sensor kami. Jadi akhirnya kami gunakan fokus pada lampu rumah yang agak jauh. Percobaan kedua dan seterusnya berjalan lancar. Tidak susah memang untuk menangkap kabut bima sakti ke dalam sensor kamera. Yang lebih susah malah lebih mencari lokasi dimana polusi cahaya tidak terlalu mengganggu. Beruntunglah rekan-rekan kita yang tinggal di daerah timur Indonesia karena selain polusi cahaya kurang begitu besar seperti di pulau Jawa juga langit di sana lebih cerah. Bahkan mungkin tiap malam ada bima sakti yang bisa kita nikmati di Flores ini.
“Kami tidak tahu kalau ada bima sakti di atas kepala kami kalau tidak dikasih lihat sama mas Widhi tadi” ucap om Irfan. Saya terkekeh pelan sembali menjawab “Kami di jawa musti naik gunung atau pergi ke pantai cuma sekedar melihat bima sakti bapak, tapi di sini tiap malam bisa lihat di depan rumah” Ganti om Irfan tertawa senang.
Beberapa kali mereka berganti posisi untuk mencari komposisi yang bagus. Mulai dari pohon pepaya, kawat listrik dan pohon depan rumah sudah kami jadikan foregroundnya. Bahkan sempat terlihat lintasa memanjang yang kami kira bintang jatuh setelah diamati lebih detail lagi dan diulang pengambilan fotonya ternyata hanya kawat listrik di atas kami yang ikutan narsis.
“Ayo kita ke pantai saja sekarang” ucap om Alfons bersemangat. Pantai memang tidak jauh dari tempat saya menginap di Maumere. Paling hanya berjarak 200-300 meter saja. Jadi ya saya hiakan juga siapa tahu dari pantai bisa terlihat bima sakti nya lebih menarik.
Saya pamit sebentar untuk mempersiapkan kamera dan peralatan lainnya. Begitu keluar sudah ada jean anak om Alfons dan mama Jean, istri om Alfons. Jean terlihat menenteng plastik. “kopi dan gula sudah siap om” lapornya bangga. Mama Jean juga terlihat menenteng termos berisi air panas.. wah bakalan maknyus nih, di pantai, malam berbintang, bima sakti, teman-teman baru dan secangkir kopi hangat bakalan mengisi malam nanti.
Pantai yang kami kunjungi malam ini bukan pantai berpasir yang langsung bertemu dengan laut. Tapi lebih ke pantai dengan tanggul penahan abrasi. Jadi kami berenam duduk-duduk di atas batuan tanggul sembari memandang lepas ke lautan. Berhubung tripod saat ini hanya ada 1 tripod merk Sirui dan 1 munyuk-pod, sedangkan ada 3 kamera dslr dan 1 kamera poket, maka alternatif yang kami pakai adalah bergiliran menggunakan tripod siruinya, dan yang belum kebagian menggunakan tripod alam, tembok-pod atau tas-pod hehehehe.
Taburan bintang terlihat lebih banyak di tepi pantai ini dibanding di depan rumah. Kabut bima saktinya terlihat jelas dari selatan, tertutup siluet pohon, melintas di atas kepala kami dan berakhir sedikit di atas pulau besar di utara. Di ujung barat lampu pelabuhan terlihat mencoba bersaing dengan ribuan bintang di atasnya. Setelah mengambil beberapa frame saya serahkan tripod siruinya untuk digunakan bergantian. Saya duduk menikmati pemandangan indah di depan mata sembari meneguk kopi yang sudah mulai dingin karena sudah agak lama tadi dibikinkan sembari mengemil kacang kulit. Angin laut tidak begitu kencang, hanya sepoi-sepoi seirama dengan bunyi ombak menerpa tanggul.
“Kayaknya kalau ada yang mau menikah bisa prewedding di sini nih” celetuk Ferdi ketika om Alfons dan Jean berpose berlatar belakang langit berbintang. Tuh kan ada ide baru.. siapa tahu teman-teman di Flores dan daerah lain bisa memanfaatkan suasana malam berlatar belakang bima sakti untuk foto prewedding kan ? 😀
Malam semakin larut, rencana kami akan menyudahi sesi “workshop” malam ini, Ketika tiba-tiba Ferdi dengan agak panik meminta saya untuk datang membantunya.. Ternyata salah satu baut untuk mengecangkan ball headnya terlepas. Sepertinya karena terlalu bersemangat sehingga memutar bautnya kebanyakan. Nah yang bikin agak panik ketika mencoba mengembalikan baut ke dalam alurnya ternyata terlalu panjang. Kami coba putar-putar untuk mencari mungkin ada lubang yang perlu dimasukan supaya bautnya muat. Tapi setelah empat orang mencoba mengutak-utik bautnya dan tetap tidak bisa kesimpulan kami mungkin ada ring khusus yang berfungsi untuk menahan bautnya seperti beberapa baut pengencang lainnya yang ada di ball head. Mulailah kami dengan senter dan handphone yang berubah fungsi menjadi senter juga mengubek-ubek lokasi sekitar tripod tadi berdiri. Ferdi bahkan mulai membuka dan membalik satu persatu batuan yang ada.
Om Iskar bahkan sampai mencari di bawah tanggul siapa tahu sempat terlempar ke sana. “wah setelah tadi mengamati bintang di langit sekarang mencari bintang di pasir” candaku sembari mencoba mengembalikan suasana yang cukup tegang mencari barang kecil berwarna hitam yang kemungkinan terjatuh di antara bebatuan.
Ada mungkin satu jam kami mencoba mencari “sesuatu” yang kami kira jatuh. Rasa capek dan mengantuk mulai menjalar di otak. “Kita pulang saja dulu dan besok pagi dicoba dicari lagi” usulku sembari meletakan batu di atas tanggul sebagai penanda letak.Tapi teman-teman seperti masih enggan menyerah dan mencoba mencari hingga ketemu. Sekali lagi saya coba utik-utik bautnya, tetap saja tidak bisa masuk karena baut lebih panjang dibanding dudukannya. Entah dapat ide dari mana, secara tidak sengaja saya memegang poros baut dan memutar bagian kepalanya.. eaalaaaahhhh… bautnya memutar menjadi lebih pendek !!!
Jiahahahahah.. Ternyata dari tadi kami mencari sesuatu yang tidak pernah ada. Maka tidak akan pernah ketemu. Bautnya cuma perlu diputar di bagian kepalanya sembari dipegang di porosnya supaya memendek. Kayak gini kok ngakunya sarjana tehnik mesin.. malu saya 😀
Puji Tuhan tanpa sadar terucap dalam batin. Bisa kebayang masih seminggu di Flores untuk hunting keindahan alamnya dan tripod bermasalah.. Raut lega juga terpancar dari teman-teman yang lainnya, walau mungkin agak dongkol dikerjain baut pengencang ball head malam ini.
Kami tertawa lega melepas ketegangan.. saatnya pulang.. Dan mungkin malam ini Ferdi bermimpi mencari baut ball head dari Maumere sampai pulau Komodo. 😀