Setelah sebelumnya menjelajahi pesona pantai-pantai eksotis di pulau Beras, kali ini penjelajahan di pulau Beras berlanjut ke salah satu relik peninggalan yang tetap tegak berdiri semenjak masa kolonial. Mercusuar Wiliams torens, sebuah menara penanda tua yang terletak di sebelah utara Pulau Beras.
Kaki menapak tanah untuk menopang kuda besi berkarat, ketika kami berhenti tepat di depan gerbang SD Negeri 3 Meulingge. Dari tempat ini, terlihat jelas segaris jalan tanah yang masih bisa dilalui kendaraan roda dua. Namun, gurat sang jalan sempat membersitkan keraguan dalam benak kami. Seketika hadirkan pilihan yang harus segera kami tentukan jawabannya, antara menyusurinya dengan kedua kaki kami ataukah tetap menggunakan kuda besi dengan berbagai resiko terburuk yang mungkin terjadi bila handling kami kurang maksimal. Akhirnya, cuaca yang terlalu terik seakan berbisik dan merayu kami untuk memilih salah satunya, yaitu melanjutkan perjalanan dengan tetap menggunakan kuda besi. Setelah membulatkan tekad dan mempertimbangkan segala hal yang mungkin dapat mengancam keselamatan diri, kumasukkan kamera ke dalam tas dan mulai kulecut mesin kuda besi hingga meraung pelan. Perlahan merambati jalanan tak rata penuh bebatuan dengan penuh kehati-hatian mengendalikan laju gerak motor, sesekali para pembonceng terpaksa harus turun ketika jalanan terasa terlalu terjal. Bahkan, beberapa kali sang pawang terpaksa harus menurunkan raungan sang kuda besi, mencari tempat teduh sembari mendinginkan deru panas yang terasa keluar dari blok mesin. Namun sayang, kondisi kedua sisi jalan yang dominan hutan rendah menyebabkan kami terkadang kesulitan menemukan tempat sekedar untuk bersembunyi dari tajamnya surai panas sang surya. Tak jarang kami biarkan para tunggangan terpanggang sinar matahari karena surya tengah hari hanya menyisakan bayangan tegak lurus dibawah pohon-pohon perindang di sepanjang jalan terjal tersebut.
45 menit berlalu ketika kami akhirnya berjumpa dengan bangunan beton buatan Belanda di masa kolonial itu. Setelah meninggalkan kuda-kuda besi dibalik bayang keteduhan, sejenak kubiarkan waktu bergulir untuk sekedar mengendurkan otot-otot kaku dan mengusap gerombolan keringat yang mengalir mengikuti gurat wajah kami. Kamera digital, filter CPL, dan kaki tiga saya siapkan sembari melangkah pelan menuju bangunan yang berada tepat bersebelahan dengan Mercusuar. Setelah menyusuri hampir setiap ruang sambil menengok pelan ke dalamnya, akhirrnya kami bertemu dengan sang penjaga Mercusuar yang sedang bertugas. Salam dan senyum ramah langsung kami lemparkan sambil memperkenalkan diri dan meminta ijin untuk masuk dan menuju kabin teratas bangunan setinggi puluhan meter di ujung barat Indonesia itu. Langkah kakipun langsung terayun ringan setelah mendapatkan ijin sang penjaga yang memberikannya sambil senyum.
Sejenak berhenti memandangi bangunan kekar yang usianya tak lagi muda, kepala tak sadar bergerak hingga menengadah mengikuti tubuh tegap berdiri dengan ketinggian yang kami perkirakan sekitar 80 meter itu. Memasuki pintu utama di kaki sang mercusuar, deretan tangga memutar menuju ke puncak menyambut. Langkah demi langkah terayun, hati-hati memijak setiap anak tangga besi berkarat yang berderit menyangga berat tubuh kami. Sesekali di titik ketinggian tertentu, jendela-jendela di sepanjang lorong membuat langkah terhenti sejenak terdorong rasa penasaran menatap ke luar. Perbedaan ketinggian dan sudut pandang dari setiap jendela menyebabkan gurat pulau beras dan bayang pulau Weh di kejauhan terbingkai frame-frame besi berkarat bagai mozaik yang berbeda rupa. Disalah satu sudut dinding, sebentuk prasasti sederhana terpasang menyimpan cerita dibalik deretan huruf membentuk kata dalam bahasa Belanda. Hanya sebagian kecil cerita yang kumengerti setelah membaca sederet angka yang mungkin merupakan tahun selesainya pembangunan mercusuar ini, tahun 1875.
Tak lama menelusuri jalinan konstruksi anak tangga dalam tubuh sang menara yang remang-remang, segaris cahaya terang terlihat jelas tak jauh dari tempat kami berdiri sambil menghela nafas agak tersengal. Dengan langkah tetap berhati-hati, perlahan kami dekati sumber cahaya yang merupakan pintu ke ruang lampu di puncak menara. Tiba di lubang cahaya, sejenak mata terpaksa mengernyit dihantam cahaya menyilaukan karena terlalu lama beradaptasi dengan keremangan. Namun, perlahan mata kembali pulih dan menghadirkan warna biru, biru, biru, dan biru sejauh mata memandang. Laut dan langit tersambung di cakrawala hadirkan gradasi warna biru menyejukkan yang seakan menerbangkan setiap beban dalam benak kami. Tentu saja, tak lama kemudian jemari ini sudah mulai menggila menekan tombol shutter kamera. Mercusuar ini menjadi saksi bisu wajah polos saya yang terkaget-kaget karena baru pertama kali menggunakan filter CPL (Circular Polarizer) tepat ketika sang sumber cahaya siang tepat di atas kepala, yaitu waktu yang tepat untuk mendapatkan fungsi filter CPL secara maksimal ketika digunakan dengan sudut 90° terhadap matahari. Membuat saya cengar cengir sendiri sembari memutar-mutar filter CPL yang bermesraan dengan lensa kit kamera digital. Jeprat jepret sana sini, mencari sudut pandang yang tepat, serta tidak lupa mengabadikan setiap bentuk keceriaan rekan seperjalanan ketika bernarsis ria dengan pemandangan super biru kala itu. Tentu saja, tripod berjasa cukup besar bagi kami ketika membuat foto keluarga di mercusuar terbarat di Indonesia. Pulau Weh atau lebih dikenal dengan Sabang, menjadi salah satu background beberapa foto yang kami ambil saat itu. Maklumlah saja, berfoto dari sisi barat pulau yang dikenal sebagai pulau terbarat di Indonesia itu bahagia sekali rasanya.
Belum puas, saya kembali menelusuri setiap sudut puncak menara William Toren. Mencoba memasuki ruang lampu mercusuar, pintu yang cukup sempit membuat kami harus beberapa kali merunduk agar kepala tidak terbentur benda keras, sambil mewaspadai serpihan kaca jendela pada ruang bagian lampu yang terkadang berbenturan ketika tertiup angin pantai. Sayang sekali, ternyata Lensa 18 mm pada kamera saya ternyata tidak memadai untuk mengabadikan keseluruhan ruang itu.
Cukup puas menikmati pemandangan serba biru kala itu, kami mulai bergerak turun dengan langkah yang lebih berhati-hati daripada saat naik. Setelah akhirnya kaki bertemu kembali dengan tanah di permukaan bumi, tanpa menghiraukan lutut yang sedikit terasa pegal, kami melanjutkan berjalan mencari sang penjaga mercusuar William Toren III. Hanya ucapan terima kasih yang dapat kami berikan kepada beliau atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menikmati indahnya Pulau Beras dari titik yang berbeda. Tak berapa lama, raungan kuda besi kembali terdengar diiringi gemerisik dedaunan kering yang terpijak oleh karet hitam roda-roda kami. Ternyata, bongkar muat penumpang lebih sering terjadi saat perjalanan turun. Menerabas jalanan menanjak saat naik terkesan bagai pemanasan saja bila dibandingkan dengan tantangan menuruni elevasi di medan yang sama. Tingkat konsentrasi dan kehati-hatian pun jauh lebih dibutuhkan ketika pulang. Nafas lega kuhembuskan ketika kami sampai kembali di jalan datar dan sangat bersahabat, perjalanan pulang sambil menikmati hamparan pasir putih berselimut laut dengan gradasi warna hijau toska hingga biru telah memenuhi benak kami.
Tidak hanya memenuhi hampir setiap ruang kosong dalam memory kamera, semua pengalaman yang tertangkap ruang pandang mata disepanjang perjalanan hari itu juga memenuhi hampir setiap segment ingatan. Hingga terkadang pecahan-pecahan perjalanan itu kembali hadir disaat mata memejam terlelap sekalipun. Belum dapat terjawab dalam benak kami, kapankah akan dapat kembali mengunjungi lokasi ini, menikmati dalam waktu berbeda, bersama mereka yang ingin lebih mengenal tentang ujung barat di INDONESIA.
Salam landscaper 😀